Maluku dikenal dengan sebutan “Negeri Seribu Pulau” memiliki beragam kekayaan alam dan budaya. Sebaran ribuan pulau membuat daerah ini memiliki panorama pariwisata yang indah nan menggoda, baik wisatawan lokal maupun mancanegara.
Wisata pantai hingga keindahan alam laut bukanlah sesuatu yang baru. Karena keindahan itu pula yang membuat ibukota Provinsi Maluku mendapat julukan “Ambon Manise” sejak zaman dahulu.
Banyak pulau dengan pantai memesona yang membuat Maluku begitu menarik perhatian. Mulai Natsepa, Pintu Kota Ambon, Ora, hingga Liang Ambon.
Kini makin banyak tempat wisata bermunculan. Salah satunya Pantai Ngurbloat di Desa Ngilngof, Maluku Tenggara yang tiap tahunnya menjadi pusat penyelenggaraan Festival Meti Kei.
Selain itu juga ada Liang Hawang, Air Terjun Lumoli, Tebing Makariki, Lubang Buaya Morela, Gunung Binaia, Museum Pombo, Taman Nasional Manusela, atau Pulau Molana. Kemudian Cagar Budaya Benteng Amsterdam dan Museum Siwa Lima.
Pemandangan Pantai Ngurbloat saat matahari tenggelam (Foto: Kemenpar)
Dengan bertambah banyaknya tempat wisata di Maluku, tentu harus dilakukan dengan konsep berkelanjutan. Dalam istilah asing sering disebut sustainable tourism.
Sebab pariwisata tidak hanya berdampak terhadap keramaian dan bertahannya tempat wisata itu. Namun harus memberi peluang terciptanya efek positif untuk ekosistem di sana, baik masyarakat maupun kearifan lokalnya.
Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon, Dr Elia Radianto, SE., M.Si, angkat bicara tentang keindahan wisata di Maluku. Dia menawarkan konsep pariwisata berkelanjutan dalam “Dialog Aspirasi Maluku” di RRI Ambon, Rabu (22/2/2023).
Itu supaya tidak ada lagi pembangunan destinasi wisata yang hanya berfokus untuk menarik pengunjung sebanyak-banyaknya. Tanpa harus memperhitungkan banyak dampak lainnya.
Dalam penerapan konsep pariwisata berkelanjutan, setidaknya terdapat sejumlah pedoman utama. Misalnya perencanaan pariwisata harus mampu menjaga tingkat kepuasan wisatawan.
Namun sejatinya tidak hanya soal kepuasan, kepastian keselamatan, hingga keamanan wisatawan. Komunitas atau masyarakat lokal di kawasan wisata turut menjadi poin penting.
“Pariwisata berkelanjutan dibangun untuk pembangunan wisata yang layak menurut budaya setempat, juga diterima secara sosial. Kemudian memprioritaskan masyarakat setempat, tidak diskriminatif, dan ramah lingkungan,” kata Elia.
“Misalnya ada hutan mangrove di situ, maka harus dijaga dan dilestarikan. Jangan ditebang atau dicemari dengan sampah,” Elia, menambahkan.
Sektor pariwisata, dikatakan Elia, tidak seharusnya menimbulkan dampak negatif, sehingga seluruh upaya perencanaannya perlu dilakukan secara matang. Dengan perencanaan yang baik diharapkan bisa melindungi banyak aset pariwisata, demi kepentingan kesejahteraan masyarakat sekarang dan masa depan.